BIOGRAFI FARID ESACK
BIOGRAFI FARID ESACK
Farid Esack, lengkapnya Maulana Farid Esack,pemikir muslim asal Afrika Selatan, memang seorang juru bicara bagi solidaritas atas nama kemanusiaan bagi semua orang. Kenyataan bahwa setiap orang adalah manusia harus dikedepankan di atas pertimbangan lainnya, termasuk agamanya. Apapun agama seseorang tidak lantas menurunkan derajatnya sebagai manusia seperti diri kita sendiri.
Farid Esack dengan keberanian yang dimilikinya sangat meyakini, bahwa Kitab Suci Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang memberikan pemihakan kepada kelompok lemah atau mustad’afin. Maka apapun penafsiran seseorang atas Al-Qur’an harus berpihak kepada kaum mustad’afin. Komitmen membangun sebuah masyarakat egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, dan tanpa rasialisme harus menjadi ukuran-ukuran dalam setiap penafsiran teks-teks suci. Dalam rentang kehidupannya di Afrika Selatan,terutama pada masa politik Apertheid (politik berdasarkan ras), telah memberikan wawasan kemanusiaan (horison of humanity) bagi Esack. Kekecewaannya pada sejumlah dogama keagamaan yang dijadikan legitimasi untuk melanggengkan penindasan dan kejemuannya terhadap kalangan konservatif yang tidak mau melihat kenyataan, bahwa masalah rasialisme dan sikap eksklusif yang berkembang di antara penganut agama-agama akan memberikan solusi bagi masyarakat. Afrika Selatan agar terlepas dari genggaman politik Apertheid. Betapa kecewanya Farid ketika menyaksikan bagaimana para penganut Islam dan Kristen berebut lahan membangun tempat ibadah, Gereja dan Masjid, untuk menunjukkan superioritas satu atas lainnya daripada memikirkan pentingnya membangun landasan bersama dalam menyelesaikan penindasan yang mereka alami. Dengan sikap terbuka dan pergaulan yang berdasarkan pada ketulusan, seperti diyakini Esack dari semenjak remaja, akan membawa agama-agama dapat bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan anti-kemanusiaan yang terjadi dalam sebuah wilayah.
Sebagai muslim, ia meyakini bahwa Al-Qur’an memberikan jawaban-jawaban bagi terwujudnya masyarakat multikutur dan multiagama. Ilham semacam ini telah mendorong Farid untuk mengelaborasi petunjuk-petunjuk Tuhan di dalam Al-Qur’an sebagai landasan untuk kebersamaan bagi umat manusia. Pada suatu kesempatan Farid Esack mengatakan,“Batin saya senantiasa tersentuh melihat kapasitas manusia yang seolah tak habis-habisnya untuk menimbulkan ketidakadilan bagi pihak ‘lain’ (the other) , lain agama, ras, dan jenis kelamin. Sejak lama saya mencoba mengukur rasa kemanusiaan saya sendiri—atau sebaliknya, rasa tidak berperikemanusiaan saya—dalam arti kehendak saya untuk bereaksi melawan itu (penindasan), juga ketidakmauan atau penolakan saya untuk melakukannya. ”Ungkapan ini mengingatkan kita pada sebuah wisdom, kata-kata bijak dari pemikir muslim klasik bernama Abu Hayyan al-Tawhidi, “al-insanu asyakalu ‘alaihi al-insan” (seorang manusia selalu menjadi beban bagi manusia lainnya, terutama ketidakadilan dan penindasan yang dilakukannya atas sesamanya). Pada bagian lain dalam tulisannya, Farid Esack pernah menuturkan,“Aku pernah mendengar seorang pemuda berteriak kepada Tuhan, “Lakukanlah sesuatu jika engkau memang benar-benar ada,” karena membiarkan anak-anak kelaparan. Kemudian pemuda sadar bahwa ternyata kepadanya karena membiarkan hal itu terjadi.”
Farid Esack memiliki pengalaman yang mendalam sekali dengan kemiskinan dan kelaparan. Ia lahir di Wnyberg, sebuah kota bagian dari sebuah kota terkenal di Afrika Selatan bernama Café Town pada tahun 1959 dalam asuhan seorang ibu yang menjalani hidup sebagai single parent. Ayahnya meninggalkan sang ibu ketika ia masih berumur dua minggu. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang kelaparan itu sebenarnya adalah teriakan Tuhan anak-anaknya yang berjumlah enam orang.
“Cukup lama kami bersekolah tanpa sepatu dan saya masih ingat saya mesti berlari menyebrangi tanah bersalju agar kaki tidak membeku. Dan yang lebih menyakitkan, saya bersama kakak terpaksa berkeliling mengetuk pintu meminta sepotong roti atau mengaduk-aduk tempat sampah demi mencari sisa apel dan semacamnya, ” Esack mengenang masa kecilnya di kota Bonteheuwel: Sebuah tempat yang berdasarkan Akta Wilayah Kelompok (Group Area Act) yang diberikan kepada penduduk berkulit berwarna dan cokelat oleh pemerintahan Apertheid.
Di Wynberg maupun di Bonteheuwel, demografi atau susunan penduduk terdiri dari berbagai agama. Di samping agama Kristen dan Islam, ada agama Baha’i dan Yahudi. Farid mengenang tuan Frank, satu-satunya orang Yahudi di lingkungan tempat tinggalnya. Ada sebuah ungkapan yang sangat menarik dari Esack ketika mengenang solidaritas tetangga-tetangganya yang beragama lain. Farid mengatakan, “kepada tetangga Kristen itulah kami bergantung demi semangkuk gula untuk menyambung nafas untuk hari-hari berikutnya. Dan mereka tempat berbagi derita. Kepada tuan Frank kami memohon perpanjangan waktu kredit yang seolah-oleh tiada akhirnya. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkan berkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristen membuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaim keselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhami saya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik dari agama lain. Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan masuk neraka?.”
Dari kenangan tersebut
terpantul benih-benih pluralisme dalam diri Esack sejak dini. Solidaritas dan
penerimaan terhadap orang lain tanpa dihantui oleh perbedaan agama, ras dan
kelamim merupakan inti dari pluralisme yang tertanam kuat pada diri Esack
sampai saat ini.
Sejak kecil Farid
Esack sangat sensitif dengan penderitaan yang dialami dan disaksikannya di
sekitarnya. Kemiskinan yang menyebabkan perut kosong menghantui kesehariannya.
Ketakutannya pada hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim, bahwa Nabi memohon
dijauhkan dari kemiskinan dan kekafiran mendorongnya untuk belajar dengan tekun
dan menjadi aktivis sosial yang gigih.
Sejak usia sembilan
tahun, ia sudah bergabung dengan Jamaah Tabligh, sebuah organisasi
internasional yang berpusat di Pakistan. Pada saat masih bersekolah dia pernah
ditahan oleh aparat keamaan lantaran aktivitasnya pada organisasi Aksi Pemuda
Nasional ( NYA=National Youth Action) dan Asosiasi Cendikiawan Kulit Hitam
Afrika Selatan (SBSA) : dua organisasi yang berpusat di Christian Institute
pada lantai dua. Pendeta Theo Kotze, pimpinan Christian Institute, memberikan
fasilitas tempat untuk beribadah bagi orang muslim di institute tersebut. Pada
saat ia masih dalam tahanan, pendeta Theo sangat rajin mendatangi dan
mengunjungi keluarganya.
Pada umur limabelas
tahun, Farid Esack mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Pakistan,
tepatnya pada tahun 1974. Di Pakistan ia menekuni kekayaan khazanah Islam
klasik dalam berbagai disiplin. Ia menyelesaikan masa belajarnya sampai
mencapai tingkat akhir dan memperoleh gelar maulana.
Di Pakistan, Farid
melihat sebuah tatanan sosial yang kontras dengan yang ada di Afrika Selatan.
Kalau di tanah kelahirannya, komunitas Muslim menjadi minoritas, maka di
Pakistan Farid menyaksikan pelecehan yang dilakukan oleh mayoritas muslim
kepada minoritas Hindu dan Kristen. ” Latar belakang saya yang berasal dari
sebuah keluarga muslim dalam situasi minoritas membuat saya prihatin pada
pelecehan sosial dan agama atas minoritas Hindu dan Kristen,” kenangnya.
Ketatnya disiplin yang
diberlakukan Jamaah Tabligh kepada para anggotanya tidak menyurutkan hati Farid
untuk bergaul secara akrab dengan berbagai kelompok dari kalangan Kristen dan
Hindu. Ia terlibat dalam kerja-kerja pendidikan, kesehatan, dan pangan yang
dilakukan oleh kelompok Pemuda Kristen bernama Breakthrough untuk membantu
kalangan miskin Kristen dan Hindu yang tinggal di perkampungan kumuh.
Tidak saja penderitaan
kaum minoritas yang membuatnya prihatin secara mendalam di Pakistan, tetapi
juga sikap kaum muslimin sendiri terhadap kaum perempuan. Kekerasan yang
dialami oleh muslimah Pakistan mengingatkannya pada kekerasan gender yang
dialami banyak perempuan di Afrika Selatan. Penderitaan kaum perempuan membawa
pada kenangan akan ibunya yang meninggal pada usia 54 tahun. Ketika ibunya di
kuburkan, dari kejauhan ia melihat sosok perempuan muda memberikan takzim
kepada ibunya. Perempuan muda itu tidak berani mendekat ke areal pekuburan.
Farid tahu kalau perempuan itu adalah kakak se-ibu yang dikucilkan dari
keluarganya sampai tidak sempat menemui ibunya ketika meninggal.
Kepedihan yang timbul
akibat pengalaman dan penyaksiannya akan penderitaan, eksploitasi, penindasan,
dan lainnya berdasarkan agama, ras, dan seksisme membentuk kepribadian Farid
menjadi seorang yang sangat sensitif dengan penindasan.
Sembilan tahun Esack
menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia
kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs,
Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack
membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator
nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada Front Demokrasi Bersatu (UDF),
didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap
rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti
dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang
solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah
naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum
beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.
KARYA-KARYA ESACK
1.
“Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of
Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987)
2.
“Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic
Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation,
Vol.5 No.2 (1991)
3.
“Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83
No.2 (1993)
4.
“Three Islamic Strands in the South African Struggle for Justice”, dalam Third
World Quarterly, Vol.10 No.12 (1998)
5.
“The Exodus Paradigm in The Light of Re-interpretative Islamic Thought in South
Africa”, dalam Islamochristiana, Vol. 17 (1999)
6.
“Muslim Engaging Apartheid”, dalam James Mutawirma (ed,), The Role of Religion
in the Dismantling of Apartheid, (Geneva: Council of Churches & UNESCO,
1992)
7.
“From The Darkness of Oppression into the Wildness of Uncertainly”, dalam David
Dorward, South Africa-The Way Forward ? (Victoria: African Research Institute,
1990);
8.
“Spektrum Teologi Progressif Afrika Selatan”, dalam Tore Lindholm dan Karl Vogt
(ed), Dekonstruksi Syari’ah (II) : Kritik Konsep dan Penjeajahan Lain, terj.
Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, 1996).
Demikian
mengenai biografi dan pemikiran secara lengkap serta perjuangan beliau tentang
pembebasan yang dilakukannya demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran.
Oleh sebab itu, dengan semangat juang itulah kita memberikan nama kepada rayon
“Farid Esack” agar sinergitas nya bisa tertular kepada mahasiswa fakultas
ushuludin adab dan dakwah terutama untuk mahasiswa pergerakan rayon farid esack
sendiri.
HIDUP
MAHASISWA
SALAM
PERGERAKAN
Komentar
Posting Komentar