MEMBUMIKAN KEMBALI PEMIKRAN DAN LITERASI MAHBUB DJUNAIDI
Mahbub junaedi yang merupakan anak pertama dari 13 bersaudara , beliau lahir di Tanah Abang Jakarta Pusat 27 juli 1933 dari putra seorang kiyai NU kyai Haji Muhamad Junaedi. Mahbub mengawali kegemarnya menulis saat ia masih di sekolah dasar, ia di kenalkan terhadap dunia menulis oleh gurunya kiyai Amir, semasa ia menempuh Pendidikan di Madrasah Manba’Ulum di Solo Jawa Tengah.
Karyanya yang tersohor waktu itu adalah cerpen berjudul “tanah mati” yang terbit di majalah ternama di-eranya kala itu. Mahbub muda mampu memandang suatu persoalan dari seginya yang humoris. Selesai dari madrasah di solo Mahbub kembali lagi ke Jakarta ,di SMP (sekolah menengah pertama) Mahbub terus melanjutkan kegemaranya menulis. Lalu Ketika duduk di bangku SMA Mahbub terus menekuni dunia menulisnya, syair tulisanya kala itu pernah di muat majalah Pemuda Masyarakat (sebuah majalah ternama di zamanya). Dan banyak majalah maupun surat kabar yang merekam jejak karya-karyanya.
Lewat karya-karyanya juga Mahbub banyak menulis tentang perhantian dan pembelaanya terhadap orang-orang miskin, Mahbub yang di kenal sebagai sosok yang ceria dan kocak mampu membuat yang terkena kritikanya tidak merasa sakit hati, unsur tulisan yang di bawakan Mahbub mampu membuat pembacaanya tertawa dalam keadaan serius, ,menghibur, mengunggat,melecut tawa dan mampu menorehkan kesadaran, hal itu merupakan kader humor tertinggi bagi se-orang penulis.
Mahbub mampu memuculkan itu dalam tulisanya , dan berkat karyanya itulah Mahbub sering di juluki sebagi seorang pendekar pena. Dalam kisah novelnya yang berjudul ‘’dari hari ke hari’’ Mahbub pernah mengatakan “saya akan terus menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu menulis lagi” sebuah komitmen yang di utarakan dan terus di perjuangkan hingga akhir hayat beliau, membuktikan bahwa dia adalah seorang kader PMII yang berkomitmen kuat terhadap dunia literasi yang memberikan dampak besar bagi bangsa ini.
Merefres ingatkan kita terhadap sosok kader PMII terdahulu yaitu Mahbub Djunaedi yang sedikit sudah di ulas di atas, lalu memutar balik-kan realitas yang ada dalam tubuh para kader PMII sekarang memang sangat timpang, realitasnya di wilayah pengkaderan penulis sendiri, menjadi sebuah sajak yang seharusnya di ubah dan di revisi kembali. Melihat organisasi besar PMII yang saat ini yang masih stagnan bukan tidak mungkin kedepan organisasi ini akan mengalami kemunduran. Maka oleh itu guna mencegah kemunduran dalam tubuh organiasi yang sangat kita cintai ini, tugas besar bagi kita “kader” untuk mengkaji kembali organisasi ini lebih dalam. Bahwa PMII bukan sekedar organisasi ekstra kampus, bukan perkumpulan hura-hura yang tak menghasilkan nilai substansial, apalagi organisasi yang hanya mencari eksistensial semata. PMII adalah organisasi perkumpulan berbagai individu yang memiliki visi misi yang sama dengan me-fungsikan sumber daya yang ada dengan berlandaskan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menjadi tugas Bersama mengingat pentingnya kualitas sumber daya manusia yang ada dan akan mempengaruhi keberlangsungan eksistensi organisasi itu sendiri. Oleh sebab itu, masalah literasi, kaderisasi, pradigma dan faktor pendukung lain mengenai kesadaran di dalam kader PMII harus kembali di tumbuhkan. Mengingat arus zaman yang kian terus berubah, kita harus menanamkan kembali pada diri kita agar terus menjadi kader yang melek dengan keadaan sekarang, kita juga harus sadar dan menasbihkan diri bahwa kita adalah kader yang lahir dari rahim organisasi ke-agamaan terbesar di dunia Nahdlatul ‘Ulama.
Mahbub juanedi adalah sosok ideal di masanya, pengaruhnya terhadap bangsa ini justru tak banyak di ketahui oleh kader-kader pmii , mengingat saat jenjang pengkaderan pertama (mapaba) sosok Mahbub hanya di kenalkan sebagai salah satu tokoh pendiri PMII “tak lebih”. Setelah kita tahu sosoknya lebih jauh, kita mungkin akan rindu sosok seperti beliau, sosok penulis produktif, jurnalis, sastrawan, politisi, dan juga sosok pemimpin yang di percaya banyak orang. Namun apakah cukup dengan ungkapan kata rindu, kita perlu mennyakan pada apakah kita “harus apakah setelah tahu sosokMahbub Djunaidi? ”.
Ini tentu menyangkut dari pembahasan kali ini, MAHBUB JUNAEDI dan LIERASI DI PMII sebagi hipotesis maupun kritik dalam tubuh organisasi ini. Kita selaku kader yang belajar dan berproses di dalam tubuh organisasi PMII. Sering mengeluhkan tetang minimnya budaya literasi baik budaya membaca, diskusi, maupun menulis. Miris melihat data pada 7 februari 2017 yang di keluarkan Media kompas dengan headline berjudul “Literasi Rendah Ladang Hoak” sebuah hal yang menunjukan bagaimana kondisi Rill budaya baca di Indonesia saat itu. Pada tahun 2012 lalu UNESCO juga mengeluarkan data bahwa minat baca masyarakat indonesi baru 0,001 persen atau hanya 250.000 dari jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa. Sedangkan dari data terakir dari World’s Most Literate National menyatakan bahwa literasi Indonesia menduduki peringakat 60 dari 61 negara yang di teliti. Kondisi yang di lematis dan juga memprihatinkan bagaimana literasi Indonesia masih stagnan dan bisa dikatakan hampir ter-degradasi.
Tentu ini menjadi tangung jawab kita sebagai Kader PMII, untuk menumbuhkan kembali Literasi dalam lingkup yang kecil seperti “Rayon”, literasi memang bukanlah sesuatu yang mudah utuk di lakukan. Namun sebagai organisasi pengkaderan dengan basik filosofi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia tentunya kita punya tangung jawab dalam mengatasi kondisi literasi di Indonesia. Perihal membaca,menulis dan berdikusi sudah seyognya mejadi makanan sehari-hari dalam tubuh kader . PMII sebagai organisasi besar yang terkenal dari segi intelektual, sosial maupun spiritual mempunyai andil besar untuk mewujudkan perubahan bangsa ini, menjadi dosa besar ketika para kader tidak mau membaca, berdiskusi, ataupun menulis. Buku yang seharusnya menjadi nutrisi wajib bagi setiap kader sekaligus sebagai lading informasi yang nantinya di serap sebagai modal analisis terhadap ke-adaan sekitar tak seharusnya hanya menjadi bahan hiasan semata.
Literasi tentunya berperan penting dalam proses terciptanya para kader berkualitas yang ber-intelektual, transformative, kritis dan spiritualis . Meski harus disadari pula “RUH” Literasi di wilayah Rayon kita sendiri masih sangat minim. Kedepan kegiatan-kegaitan yang akan kita lakukan haruslah mempunyai arah dan rencana tindak lanjut yang jelas, jangan sampai agenda agenda kegiatan yang di tawarkan kepada anggota mengalami permasalahan klasik yaitu minimnya rencana tindak lanjut sehingga nilai subtansial dari kegiatan mengalami ketidak jelasan. Sosok Mahbub djunadi di atas menjadi spirit keberanian dan kegigihan intelektual kader PMII .Melalui kebiasaanya membaca dan menulis sosok Mahbub mampu mempunyai pengaruh yang begitu besar bagi banggsa ini.
Sudah seharusnya pula semangat menulis dan membaca Mahbub Djunaedi menjadi refleksi kita bersama, gagasan-gagasan beliau harus kita hidupkan kembali. Kita patut berbangga sekaligus juga intropeksi melihat bagaimana sosok ketua PB PMII kita terdahulu mampu menempati peran penting dalam kebangsaan kita.
Komentar
Posting Komentar